Soe
Hok Gie di Mata Jakob Oetama & Impiannya Tentang Mahasiswa
OPINI | 26 October 2013 | 07:43 Dibaca: 1932 Komentar: 21 18
SAMBIL menikmati akhir pekan, saya ingin berbagi cerita tentang sesosok
orang biasa — bukan orang suci, sufi atau nabi — yang bermimpi
sederhana ‘’agar mahasiswa (tetap) menjadi manusia biasa’’. Soe Hok Gie,
namanya.
Jakob Oetama (JO), Pemimpin Umum Kompas yang mengenalnya di periode 1965
- 1969, menggambarkan sosok Soe Hok Gie mirip seperti kakaknya, ilmuwan
Arief Budiman. Gie, tutur JO, adalah sosok yg gaya bicaranya lugas,
menggugat, berintegritas tinggi, dan sering tampak kurang sabaran.
“Sebagai seorang aktivis, Gie tidak sabaran, mau tembak langsung,
sedangkan saya digerakkan oleh naluri kewartawanan dengan sikap with
understanding,” ujar JO.
Sebaliknya, Gie juga punya penggambaran khas tentang sosok Jakob Oetama,
yang kita kemudian kenal sebagai salah satu pilar dalam perjalanan
sejarah media dan jurnalistik di Indonesia. “…karena biar bagaimana pun,
dari orang-orang seperti Jakob (Oetama) yang sangat hati-hati tidak
dapat diharapkan sikap nekat seperti aku,” tulis Gie, yang bangga betul
ketika PK Ojong, salah seorang pendiri Kompas, menyebutnya sebagai
‘patriot’ dalam rubrik ‘Kompasiana’, 12 Nov 1969. Ya, Gie adalah sosok
yang senang bila tulisannya dikomentari sarkastis atau anarkis.
Masih di mata JO,seperti halnya Arief Budiman, Gie cenderung hitam-putih
dalam melihat persoalan. Keuntungannya, ungkap JO, ‘’Dengan sikapnya
itu, analisis Gie menjadi tajam menusuk. Kerugiannya, analisis Gie bisa
menghilangkan nuansa.’’ Gie misalnya, hanya melihat ada dua pilihan di
Indonesia ini: menjadi idealias atau apatis. “Saya memutuskan harus
menjadi idealias sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa
jadinya saya kalau saya patah-patah..” Ujar Gie suatu ketika.
BEBERAPA waktu lalu, saya membaca lagi tulisan ‘’kegelisahan’’ khas Soe
Hok Gie yang dimuat di buku lawas ‘Issue dan Igauan dari Salemba’. Ia
menulis artikel berjudul, ‘’Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa
Tua’’. Di tulisan itu Gie tampak ‘’galau’’ — meminjam istilah anak
sekarang — karena Ketua Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, tempatnya
menempuh pendidikan, sudah bertanya, kapan ia mau menyerahkan
skripsinya.
Ia jujur mengaku tersadar status mahasiswa yang telah disandangnya 6,5
tahun dengan nyaman, bakal segera harus ditanggalkannya. “Saya merasa
bahagia karena cita-cita saya untuk menjadi seorang sarjana akan
terkabul dalam waktu tidak lama lagi..,” tulis Gie. Tapi, lanjutnya,
“timbul perasaan sedih dalam diri saya. Teringat masa-masa belajar,
diskusi, ujian, nonton film & cerita-cerita murahan di kampus.’’
Dalam kegalauan itu, Gie pun menulis dua mimpinya sebagai mahasiswa tua
tentang mahasiswa. “Mimpi saya yang terbesar yang ingin saya
laksanakan,” tulis Gie, “adalah agar mahasiswa Indonesia berkembang
menjd MANUSIA-MANUSIA YANG BIASA. Menjadi pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang yang normal. Sebagai
seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai
seorang mahasiswa, seorang pemuda, dan sebagai SEORG MANUSIA!”
Manusia biasa, di mata Gie, adalah mahasiswa yang datang ke kelas secara
serius, mengikuti kuliah meski dosennya kadang membosankan. Dan jelang
ujian, tiba-tiba menjadi sosok-sosok yang belajar dengan tekun di
perpustakaan, laboratorium, dan berdiskusi sungguh-sungguh dengan sesama
mahasiswa.
Dan, sebagai manusia biasa, mahasiswa juga perlu kegiatan lain.
Seperti,berolahraga, berorganisasi, bikin acara/lomba kesenian, dan naik
gunung. Juga, tulis Gie, ‘’Putar film-film bermutu atau sesekali nonton
film murahan,dan sesekali membuat lelucon-lelucon jorok, khas
mahasiswa.’’
Tetapi tegas Gie, pada saat yang menentukan, mahasiswa harus TEGAS,
BERANI turun ke jalan, berani menghadapi panser-panser tentara yang mau
menginjak-injak demokrasi. “Dan berkata TIDAK terhadap siapa pun juga
yang ingin merobek-robek rule of law dan kemerdekaan bangsanya,” tegas
Gie.
Itulah Mahasiswa yang MANUSIA BIASA, tegas Gie, “Manusia-manusia yang
berkepribadian tapi tidak berlebih-lebihan.”
Dalam tulisannya, Gie juga mengungkapkan kesedihannya melihat banyaknya
mahasiswa dan pemuda yang mengingkari hakikat kemahasiswaan dan
kepemudaannya. Sosok-sosok yang digambarkan Gie sebagai “Yang tumbuh
dalam kampus adalah suasana kepicikan dan kemunafikan.
Mahasiswa-mahasiswa berlomba untuk menjadi suci secara tidak pada
tempatnya. Di fakultas saya terdapat beberapa kelompok mahasiswa yang
antidansa secara keterlaluan. Seolah-olah yang dansa adalah iblis-iblis
yang akan merusak moral pemuda. Dan kehidupan mahasiswa-mahasiswi mau
diatur menurut pola-pola abad XII — bahwa sex adalah suatu kejahatan.
Bahwa pacaran membuang-buang waktu dan pesta tidak sesuai dengan Ampera
(Amanat Penderitaan Rakyat). Bahwa kebudayaan Barat adalah kebudayaan
materialistis dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan Pancasila.
Bertentangan dengan agama dan lain-lainnya.” Baginya, mahasiswa perlu
bergaul untuk membentuk kepribadiannya, mengenal orang lain dan tumbuh
menjadi manusia-manusia yang wajar.
SAAT duduk di tingkat III, Soe Hok Gie membaca buku ‘4 Profile of
Courage’nya John F Kennedy. Ia melahap kisah-kisah keberanian
sosok-sosok yang membela prinsip kebenaran dan berani melawan arus massa
dan partainya sendiri. Gie mengaku mendapatkan pelajaran bahwa
sosok-sosok seperti ini kerap kalah, diasingkan, dicaci, dan memilih
kematian daripada mengkhianati keyakinannya sendiri. Gie dengan sadar
mengakui, buku John F Kennedy itu sedikit-banyak mempengaruhi sikap dan
tingkah lakunya .
Gie adalah sosok yang selalu ingin melihat seorang politikus dengan ‘P’
besar dan bukannya seorang politikus dengan ‘P’ kecil! Politikus dengan
‘P’ besar, di mata Gie adalah sosok yang bukan hanya sekedar mengikuti
arus massa dan taktik-taktik melulu, yang dengan sarkas disebut Gie,
sebagai sosok ”Yang dari ujung rambutnya sampai ujung kukunya berisi
strategi dan taktik yang selalu bisa disesuaikan dengan kondisi.’’
Gie juga menulis pengalamannya saat ada tuntunan agar Senat dibersihkan
dari golongan-golongan kontrarevolusi HMI-Manikebu. ”Dalam ‘konfrontasi’
itu saya jelaskan bahwa dalam Senat tak ada HMI. Yang ada hanya si A
atau si B,’ ujarnya, ”dan kami memilihnya bukan sebagai wakil-wakil
ormas-ormas, tapi sebagai individu-individu yang cakap.” Dalam
‘’konfrontasi’’ itu,Gie menang, dan karenanya tidak ada seorang pun
anggota HMI dan aktivis Manikebu yg dikeluarkan! Gie menegaskan bahwa
yang harus ditegakkan adalah prinsip kepemimpinan yg sehat.
Yang seperti apa?
”Seorang mahasiswa tidak dinilai oleh afiliasinya, agamanya, sukunya,
keturunannya, atau pun ormasnya. Penilaian satu-satunya yang dipakai
adalah BENAR ATAU SALAH, JUJUR ATAU MALING, MAMPU ATAU TIDAK MAMPU!”
Tetapi, Gie menyadari, ‘’ Dalam memperjuangkan prinsip tegas seperti
itu, tidak semua orang mampu mewujudkannya dalam tindakan nyata. Paling
banter: diam!’’ Dengan nada satir yang perih Gie berujar, ”Hanya
individu-individu yang ‘nekat’ dan idealis gila yang mau tampil!”
Dari pengalaman itu, Gie tetap berupaya ‘’memelihara’’ dan
‘’menjaga’’mimpi indahnya tentang sosok-sosok mahasiswa yang berani
menyatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan. Dalam
tulisannya itu Gie juga menyampaikan mimpi keduanya, yang dia
pertanyakan sendiri, ”Apakah mimpi kedua saya (ini) terlalu luks?”
Ia bermimpi agar mahasiswa-mahasiswa Indonesia berpolitik dengan ‘P’
besar, bukan ‘p’ kecil. Agar mereka menjadi Pemuda dan Mahasiswa dengan
‘P’ dan ‘M’ besar.
Masih dalam tulisannya, Soe Hok Gie memperlihatkan kengeriannya ketika
Soekarno mengeluarkan larangan membaca buku-buku Sumitro, Mochtar Lubis
dan Idrus, juga mengintimidasi agar buku-buku HB Jassin, Bur Rasuanto
dan kaum manikebuis dilarang dipakai. ”Yang lebih mengerikan, sampai
buku-buku kanak-kanak karangan Idrus, Gorda dan Pesawat Terbang, buku
Tata Bahasa Takdir Alisyahbana, dan Teknik Mengarang-nya Mochtar Lubis
ikut dilarang.”
Ia sungguh merasa resah jika mahasiswa hanya diperkenankan menerima satu
sumber informasi. ”Bagi saya, kebebasan mimbar berarti kebebasan untuk
mencari sumber-sumber dari mana pun juga, kebebasan untuk meneliti dan
mengkritik sumber-sumber tadi, memberikan kesempatan kepada civitas
academica untuk menyatakan pendapat-pendapatnya, walau punbertentangan
dengan pihak penguasa. Ya, kebebasan yang disertai akan tanggungjawab
secara dewasa,” tegasnya.
Tahun 1966 situasi berubah. Orde Lama akhirnya tumbang, dan lahirlah
Orde Baru. Tetapi Gie tetap kritis terhadap perubahan itu. Ia tegas
ungkapkan, ”Tetapi bukan struktur dan kesadarannya yang berubah. Dulu
atas nama Nasakom, sekarang atas nama Pancasila - Agama dan Orde Baru.”
Orde berubah, tapi di mata Gie, kebebasan mimbar tak pernah kembali.
Kebebasan tetap menjadi barang luks yang mahal bagi mahasiswa. Buktinya,
di era Orde Baru, buku-buku Pramudya Ananta Toer dan kawan-kawan
komunisnya dilarang. ‘’Bagi saya adalah sama buruknya melarang membaca
buku Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis pada tahun 1965 dengan melarang
membaca buku Cerita dari Blora Pramudya A Toer,” tegasnya.
Saat itu juga, Gie berharap agar di masa depan universitas akan
dapatkankebebasan mimbarnya, karena itu dinilainya sebagai sesuatu yang
fundamental.
Di alinea akhir tulisannya, Gie tetap memperlihatkan kegalauannya
akansegera meninggalkan dunia kemahasiswaan. Ia mengaku meninggalkannya
dengan hati berat dan tidak tenang.
Mengapa?
”Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura
suci dan mengatasnama-TUHAN-kan segala-galanya. Sampai-sampai dansa dan
naik gunung dibawa-bawa kepada soal agama. Masih terlalu banyak
serigala-serigala berbulu domba. Buaya-buaya judi, tukang-tukang lacur
(baiklah kita terus terang bahwa cukup banyak mahasiswa yang sering ke
tempat pelacur), tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak
tentang moral generasi muda dan tanggungjawab mahasiswa terhadap
rakyat,’’ tulis Gie.
Dan lagi-lagi dengan satir, Gie menulis tentang mahasiswa-mahasiswa
bermental sok kuasa, yang MERINTIH KALAU DITEKAN, TETAPI MENINDAS KALAU
BERKUASA!
Kalimat terakhir Gie sama terasa perihnya. ‘’Barangkali mimpi-mimpi saya
tak pernah akan terlaksana.’’ Tetapi, lanjutnya seperti menghibur
diri, ‘’dengan kerja keras mimpi-mimpi tadi mungkin akan terlaksana.’’
Kelak kemudian, sejarah membuktikan, Soe Hok tak cuma meninggalkan
kampus. Tapi di usia muda, 27 tahun, ia tinggalkan kita semua, berpulang
di Gunung Semeru, 16 Desember 1969.
Teringat kata-kata Gie di akhir puisi Mandalawangi-Pangrango-nya:
aku cinta padamu Pangrango,
karena aku cinta pada keberanian hidup
Sekian sekilas cerita tentang Soe Hok Gie. Doa selalu untuknya, sosok
ORANG BIASA yang merindukan lahirnya ORANG BIASA yang berani
memperjuangkan kebenaran.