Senin, 29 September 2014

Sesaat Saja



Ketika aku mulai berkata “aku tak butuh lagi”
Yang tadinya aku tak mau mengenal itu lagi
Dan aku tak mau terlibat lagi
Mendengarpun aku tak mau
Ketika aku berusaha sekuat tenagaku
Untuk tak pernah mau tau apa yang terjadi
Tapi aku malah berhenti sesaat
Dan memandangi punggung itu
Hingga bayangannya benar-benar menghilang dari pandanganku
Aku bingung
Seorang Adam yang seharusnya tak pantas kukenal
Memang seharusnya  aku tak pantas mengenalnya
Bahkan untuk memanggil namanya pun aku tak berhak
Tuhan ....untuk masalah ini seharusnya aku tidak melibatkanMu
Bila sekedar hanya untuk melupakan
“Mungkin” aku bisa...tapi  “hanya untuk sesaat”
UNTUK SESAAT SAJA
Aku Bisa.....................................
 (111213)

Tanpa Judul




Desir
Desah
Debu
Aku bersama desir angin
yang tak pernah lalu...
Aku bersama desahan suara
Yang tak pernah berhenti memanggilku...
Aku bersama setitik debu halus
yang semakin lama semakin membekas
dan tak mau menghilang...
tetap membekas
          Berdiri hanya sendiri
          Tanpa pernah merasa ada yang berpihak
          Sebuah tabir yang hanya itu itu saja
          Tabir mimpi yang slalu membuatku terasing
          Terasing dari kehidupan yang indah
          Tersudut sendiri disebuah relikui yang kosong
                   Biarlah kuakhiri tanpa judul
                   Dan aku ingin menghilang...

                                                                             Creat by: Arin

Jumat, 26 September 2014

Soe Hok Gie & Impiannya Tentang Mahasiswa

Soe Hok Gie di Mata Jakob Oetama & Impiannya Tentang Mahasiswa OPINI | 26 October 2013 | 07:43 Dibaca: 1932 Komentar: 21 18 SAMBIL menikmati akhir pekan, saya ingin berbagi cerita tentang sesosok orang biasa — bukan orang suci, sufi atau nabi — yang bermimpi sederhana ‘’agar mahasiswa (tetap) menjadi manusia biasa’’. Soe Hok Gie, namanya. Jakob Oetama (JO), Pemimpin Umum Kompas yang mengenalnya di periode 1965 - 1969, menggambarkan sosok Soe Hok Gie mirip seperti kakaknya, ilmuwan Arief Budiman. Gie, tutur JO, adalah sosok yg gaya bicaranya lugas, menggugat, berintegritas tinggi, dan sering tampak kurang sabaran. “Sebagai seorang aktivis, Gie tidak sabaran, mau tembak langsung, sedangkan saya digerakkan oleh naluri kewartawanan dengan sikap with understanding,” ujar JO. Sebaliknya, Gie juga punya penggambaran khas tentang sosok Jakob Oetama, yang kita kemudian kenal sebagai salah satu pilar dalam perjalanan sejarah media dan jurnalistik di Indonesia. “…karena biar bagaimana pun, dari orang-orang seperti Jakob (Oetama) yang sangat hati-hati tidak dapat diharapkan sikap nekat seperti aku,” tulis Gie, yang bangga betul ketika PK Ojong, salah seorang pendiri Kompas, menyebutnya sebagai ‘patriot’ dalam rubrik ‘Kompasiana’, 12 Nov 1969. Ya, Gie adalah sosok yang senang bila tulisannya dikomentari sarkastis atau anarkis. Masih di mata JO,seperti halnya Arief Budiman, Gie cenderung hitam-putih dalam melihat persoalan. Keuntungannya, ungkap JO, ‘’Dengan sikapnya itu, analisis Gie menjadi tajam menusuk. Kerugiannya, analisis Gie bisa menghilangkan nuansa.’’ Gie misalnya, hanya melihat ada dua pilihan di Indonesia ini: menjadi idealias atau apatis. “Saya memutuskan harus menjadi idealias sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah..” Ujar Gie suatu ketika. BEBERAPA waktu lalu, saya membaca lagi tulisan ‘’kegelisahan’’ khas Soe Hok Gie yang dimuat di buku lawas ‘Issue dan Igauan dari Salemba’. Ia menulis artikel berjudul, ‘’Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua’’. Di tulisan itu Gie tampak ‘’galau’’ — meminjam istilah anak sekarang — karena Ketua Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, tempatnya menempuh pendidikan, sudah bertanya, kapan ia mau menyerahkan skripsinya. Ia jujur mengaku tersadar status mahasiswa yang telah disandangnya 6,5 tahun dengan nyaman, bakal segera harus ditanggalkannya. “Saya merasa bahagia karena cita-cita saya untuk menjadi seorang sarjana akan terkabul dalam waktu tidak lama lagi..,” tulis Gie. Tapi, lanjutnya, “timbul perasaan sedih dalam diri saya. Teringat masa-masa belajar, diskusi, ujian, nonton film & cerita-cerita murahan di kampus.’’ Dalam kegalauan itu, Gie pun menulis dua mimpinya sebagai mahasiswa tua tentang mahasiswa. “Mimpi saya yang terbesar yang ingin saya laksanakan,” tulis Gie, “adalah agar mahasiswa Indonesia berkembang menjd MANUSIA-MANUSIA YANG BIASA. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang yang normal. Sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, seorang pemuda, dan sebagai SEORG MANUSIA!” Manusia biasa, di mata Gie, adalah mahasiswa yang datang ke kelas secara serius, mengikuti kuliah meski dosennya kadang membosankan. Dan jelang ujian, tiba-tiba menjadi sosok-sosok yang belajar dengan tekun di perpustakaan, laboratorium, dan berdiskusi sungguh-sungguh dengan sesama mahasiswa. Dan, sebagai manusia biasa, mahasiswa juga perlu kegiatan lain. Seperti,berolahraga, berorganisasi, bikin acara/lomba kesenian, dan naik gunung. Juga, tulis Gie, ‘’Putar film-film bermutu atau sesekali nonton film murahan,dan sesekali membuat lelucon-lelucon jorok, khas mahasiswa.’’ Tetapi tegas Gie, pada saat yang menentukan, mahasiswa harus TEGAS, BERANI turun ke jalan, berani menghadapi panser-panser tentara yang mau menginjak-injak demokrasi. “Dan berkata TIDAK terhadap siapa pun juga yang ingin merobek-robek rule of law dan kemerdekaan bangsanya,” tegas Gie. Itulah Mahasiswa yang MANUSIA BIASA, tegas Gie, “Manusia-manusia yang berkepribadian tapi tidak berlebih-lebihan.” Dalam tulisannya, Gie juga mengungkapkan kesedihannya melihat banyaknya mahasiswa dan pemuda yang mengingkari hakikat kemahasiswaan dan kepemudaannya. Sosok-sosok yang digambarkan Gie sebagai “Yang tumbuh dalam kampus adalah suasana kepicikan dan kemunafikan. Mahasiswa-mahasiswa berlomba untuk menjadi suci secara tidak pada tempatnya. Di fakultas saya terdapat beberapa kelompok mahasiswa yang antidansa secara keterlaluan. Seolah-olah yang dansa adalah iblis-iblis yang akan merusak moral pemuda. Dan kehidupan mahasiswa-mahasiswi mau diatur menurut pola-pola abad XII — bahwa sex adalah suatu kejahatan. Bahwa pacaran membuang-buang waktu dan pesta tidak sesuai dengan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Bahwa kebudayaan Barat adalah kebudayaan materialistis dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan Pancasila. Bertentangan dengan agama dan lain-lainnya.” Baginya, mahasiswa perlu bergaul untuk membentuk kepribadiannya, mengenal orang lain dan tumbuh menjadi manusia-manusia yang wajar. SAAT duduk di tingkat III, Soe Hok Gie membaca buku ‘4 Profile of Courage’nya John F Kennedy. Ia melahap kisah-kisah keberanian sosok-sosok yang membela prinsip kebenaran dan berani melawan arus massa dan partainya sendiri. Gie mengaku mendapatkan pelajaran bahwa sosok-sosok seperti ini kerap kalah, diasingkan, dicaci, dan memilih kematian daripada mengkhianati keyakinannya sendiri. Gie dengan sadar mengakui, buku John F Kennedy itu sedikit-banyak mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya . Gie adalah sosok yang selalu ingin melihat seorang politikus dengan ‘P’ besar dan bukannya seorang politikus dengan ‘P’ kecil! Politikus dengan ‘P’ besar, di mata Gie adalah sosok yang bukan hanya sekedar mengikuti arus massa dan taktik-taktik melulu, yang dengan sarkas disebut Gie, sebagai sosok ”Yang dari ujung rambutnya sampai ujung kukunya berisi strategi dan taktik yang selalu bisa disesuaikan dengan kondisi.’’ Gie juga menulis pengalamannya saat ada tuntunan agar Senat dibersihkan dari golongan-golongan kontrarevolusi HMI-Manikebu. ”Dalam ‘konfrontasi’ itu saya jelaskan bahwa dalam Senat tak ada HMI. Yang ada hanya si A atau si B,’ ujarnya, ”dan kami memilihnya bukan sebagai wakil-wakil ormas-ormas, tapi sebagai individu-individu yang cakap.” Dalam ‘’konfrontasi’’ itu,Gie menang, dan karenanya tidak ada seorang pun anggota HMI dan aktivis Manikebu yg dikeluarkan! Gie menegaskan bahwa yang harus ditegakkan adalah prinsip kepemimpinan yg sehat. Yang seperti apa? ”Seorang mahasiswa tidak dinilai oleh afiliasinya, agamanya, sukunya, keturunannya, atau pun ormasnya. Penilaian satu-satunya yang dipakai adalah BENAR ATAU SALAH, JUJUR ATAU MALING, MAMPU ATAU TIDAK MAMPU!” Tetapi, Gie menyadari, ‘’ Dalam memperjuangkan prinsip tegas seperti itu, tidak semua orang mampu mewujudkannya dalam tindakan nyata. Paling banter: diam!’’ Dengan nada satir yang perih Gie berujar, ”Hanya individu-individu yang ‘nekat’ dan idealis gila yang mau tampil!” Dari pengalaman itu, Gie tetap berupaya ‘’memelihara’’ dan ‘’menjaga’’mimpi indahnya tentang sosok-sosok mahasiswa yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan. Dalam tulisannya itu Gie juga menyampaikan mimpi keduanya, yang dia pertanyakan sendiri, ”Apakah mimpi kedua saya (ini) terlalu luks?” Ia bermimpi agar mahasiswa-mahasiswa Indonesia berpolitik dengan ‘P’ besar, bukan ‘p’ kecil. Agar mereka menjadi Pemuda dan Mahasiswa dengan ‘P’ dan ‘M’ besar. Masih dalam tulisannya, Soe Hok Gie memperlihatkan kengeriannya ketika Soekarno mengeluarkan larangan membaca buku-buku Sumitro, Mochtar Lubis dan Idrus, juga mengintimidasi agar buku-buku HB Jassin, Bur Rasuanto dan kaum manikebuis dilarang dipakai. ”Yang lebih mengerikan, sampai buku-buku kanak-kanak karangan Idrus, Gorda dan Pesawat Terbang, buku Tata Bahasa Takdir Alisyahbana, dan Teknik Mengarang-nya Mochtar Lubis ikut dilarang.” Ia sungguh merasa resah jika mahasiswa hanya diperkenankan menerima satu sumber informasi. ”Bagi saya, kebebasan mimbar berarti kebebasan untuk mencari sumber-sumber dari mana pun juga, kebebasan untuk meneliti dan mengkritik sumber-sumber tadi, memberikan kesempatan kepada civitas academica untuk menyatakan pendapat-pendapatnya, walau punbertentangan dengan pihak penguasa. Ya, kebebasan yang disertai akan tanggungjawab secara dewasa,” tegasnya. Tahun 1966 situasi berubah. Orde Lama akhirnya tumbang, dan lahirlah Orde Baru. Tetapi Gie tetap kritis terhadap perubahan itu. Ia tegas ungkapkan, ”Tetapi bukan struktur dan kesadarannya yang berubah. Dulu atas nama Nasakom, sekarang atas nama Pancasila - Agama dan Orde Baru.” Orde berubah, tapi di mata Gie, kebebasan mimbar tak pernah kembali. Kebebasan tetap menjadi barang luks yang mahal bagi mahasiswa. Buktinya, di era Orde Baru, buku-buku Pramudya Ananta Toer dan kawan-kawan komunisnya dilarang. ‘’Bagi saya adalah sama buruknya melarang membaca buku Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis pada tahun 1965 dengan melarang membaca buku Cerita dari Blora Pramudya A Toer,” tegasnya. Saat itu juga, Gie berharap agar di masa depan universitas akan dapatkankebebasan mimbarnya, karena itu dinilainya sebagai sesuatu yang fundamental. Di alinea akhir tulisannya, Gie tetap memperlihatkan kegalauannya akansegera meninggalkan dunia kemahasiswaan. Ia mengaku meninggalkannya dengan hati berat dan tidak tenang. Mengapa? ”Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnama-TUHAN-kan segala-galanya. Sampai-sampai dansa dan naik gunung dibawa-bawa kepada soal agama. Masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba. Buaya-buaya judi, tukang-tukang lacur (baiklah kita terus terang bahwa cukup banyak mahasiswa yang sering ke tempat pelacur), tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda dan tanggungjawab mahasiswa terhadap rakyat,’’ tulis Gie. Dan lagi-lagi dengan satir, Gie menulis tentang mahasiswa-mahasiswa bermental sok kuasa, yang MERINTIH KALAU DITEKAN, TETAPI MENINDAS KALAU BERKUASA! Kalimat terakhir Gie sama terasa perihnya. ‘’Barangkali mimpi-mimpi saya tak pernah akan terlaksana.’’ Tetapi, lanjutnya seperti menghibur diri, ‘’dengan kerja keras mimpi-mimpi tadi mungkin akan terlaksana.’’ Kelak kemudian, sejarah membuktikan, Soe Hok tak cuma meninggalkan kampus. Tapi di usia muda, 27 tahun, ia tinggalkan kita semua, berpulang di Gunung Semeru, 16 Desember 1969. Teringat kata-kata Gie di akhir puisi Mandalawangi-Pangrango-nya: aku cinta padamu Pangrango, karena aku cinta pada keberanian hidup Sekian sekilas cerita tentang Soe Hok Gie. Doa selalu untuknya, sosok ORANG BIASA yang merindukan lahirnya ORANG BIASA yang berani memperjuangkan kebenaran.

Relaksasi, Boleh...

8 Cara Menghabiskan Waktu Di Rumah

Liburan tidak harus selalu dihabiskan di luar rumah. Bila Anda kebetulan ingin menghabiskan waktu libur Anda di rumah saja, atau kebingungan untuk membunuh waktu saat hanya berada di rumah sepanjang waktu.  Berikut adalah beberapa ide yang bisa Anda coba agar waktu libur Anda tetap menyenangkan dan menyegarkan Anda.
  1. Dengan adanya Broadband Internet Murah, memungkinkan dan mempermudah kita liburan di rumahmenghabiskan waktu dengan berselancar di internet. Melalui internet kita bisa chatting, streaming, call converence hingga browsing biasa.
  2. Menyanyi, Manfaatkan fasilitas you tube pada internet Anda untuk melihat video klip artis favorit Anda sambil ikut menyanyikan lirik lagunya. Cara ini cukup ampuh untuk mencegah pikun pada usia dini, tentunya dengan Broadband Internet Murah dan cepat ini sangat mengasikkan
  3. Menari, Putarlah lagu dengan tempo cepat, bergoyanglah sambil mengikuti irama lagu tersebut. Dengan gaya sesuka Anda tentunya. Gangnam style bisa di coba  mungkin?
  4. Belajar masak, Mulailah dengan resep – resep yang ringan dan mudah, misalnya membuat pudding atau nasi goreng.  Hasilnya dapat Anda nikmati bersama – sama dengan keluarga atau teman.
  5. Olahraga, Bersepeda atau berjalan kaki adalah olahraga yang bisa Anda coba. Selain menyehatkan, olahraga ini sangat mudah untuk dilakukan.
  6. Membaca, bacalah buku atau majalah yang belum sempat Anda sentuh karena banyaknya kesibukan. Membaca adalah salah satu cara ampuh untuk menghilangkan stress dan membuat denyut jantung Anda tetap normal.
  7. Tidur, Istirahat yang sangat dianjurkan. Selain murah, tidur dapat mengembalikan stamina Anda dengan baik kapan lagi Anda dapat menikmati tidur Anda tanpa terganggu bunyi alarm atau perasaan was-was takut telat.
  8. Spa atau pijat, Spa atau pijat sesekali bisa membuat tubuh lelah dan tegang menjadi  lebih relaks. Manjakan tubuh dengan luluran dan pijat dengan aroma terapi yang dapat membuat tubuh dan pikiran lebih relaks.